Minggu, 30 Januari 2011

"UQUD AL-LUJJAYN"

Sekali Lagi “Uqud al-Lujjayn”
Oleh: Mimin Mu’minah

Kitab ‘Uqud al-Lujjayn sangat terkenal. Tidak hanya di kalangan pesantren. Tetapi juga di kalangan aktivis perempuan. Ditulis seorang ulama besar, Syekh Nawawi (1815-1897) asal Banten, yang memilih hidup dan wafat di Kota Mekkah al-Mukarramah. Kitab ini hanyalah satu dari sekitar 100 kitab yang ditulis Syekh Nawawi dalam berbagai disiplin ilmu. Mulai dari tafsir, aqidah, fiqh, hadits, bahasa, dan juga tasawuf. Kebanyakan berbahasa Arab yang mudah dicerna kalangan non-Arab terutama pelajar-pelajar Melayu di Mekkah saat itu. Beliau juga seorang yang berkepribadian sederhana, tidak suka bertengkar, mudah mengalah, dan bersahabat dengan banyak orang. Begitulah beliau akhirnya dicintai teman, kerabat, dan terutama pelajar-pelajar sampai akhir hayatnya. Bahkan sampai sekarang. Terutama di kalangan pesantren.

Kitab ini memang bukan kitab referensi wajib para santri, tapi kitab ini sangat populer dilakangan pesantren juga masyarakat awam, karena kitab ini sering dibaca dalam ‘ngaji pasaran’ selama bulan ramadhan. Ngaji kuping bagi para ibu-ibu, juga para santri untuk lebih mengetahui  kewajiban suami-istri dalam hidup berumah tangga. Adapun tujuan dasar dari pengajian ini adalah merupakan pengajian bil- barakah (ngalap berkah) menuntut ilmu di bulan ramadhan.

Mengapa ‘Uqud al-Lujjayn?
Lengkapnya kitab ini bernama ‘Uqud al-Lujjayn fi Bayan Huquq az-Zawjayn. Artinya kurang lebih: temali dua samudera mengenai penjelasan hak-hak kedua pasangan (suami istri). Seringkali juga disebut dengan Syarh ‘Uqud al-Lujjayn, atau komentar atas ‘Uqud al-Lujjayn. Dari judul kitab saja, terlihat ia membahas hal-hal terkait suami dan istri. Bagaimana seharusnya sebuah keluarga dibangun menuju ‘mawaddah warahma’, tentang hak dan kewajiban suami-isteri, larangan-larangan yang harus dijauhi dan keutamaan-keutamaan yang harus dikejar demi sebuah pahala, kebahagiaan dan kesejahteraan.

Ketika saya mesantren di Bandung (sambil kuliah jadi kurang fokus), kitab ini sempat dibicarakan. Saya mendengar kitab ini digunjingkan beberapa ustadz dan santri senior. Tetapi saya tidak sempat mengaji kitab ini. Yang saya tahu kitab ini adalah kitab untuk orang-orang yang sudah dewasa, sudah baligh. Karena dalam kitab ini banyak memberikan penjelasan tentang hubungan suami isteri.  Saya tidak terpikir, tidak tahu, dan tidak pernah bertanya: apakah kitab ini diaji di pesantren saya: Bustanul Wildan.

Kitab ‘uqud kemudian menjadi heboh ketika diangkat para aktivis pembela perempuan. Seperti FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning) yang dipimpin Ibu Hj. Sinta Nuriyah, istri Gus Dur. Dalam kajian mereka, kitab ini dianggap tidak bersahabat terhadap perempuan. Karena terlalu banyak teks-teka hadits dan kata-kata ulama, di dalam kitab ini, yang menyudutkan perempuan. Keterangan Iman Nawawi banyak menuntut dan menekan kewajiban-kewajiban perempuan harus tunduk dan patuh pada suami, wajib memberikan layanan yang terbaik untuk suami. Tapi, hal demikian tidak ada keseimbangan timbal balik (relasi) kewajiban-kewajiban suami pada isteri.  Beberapa di antaranya saya kutip di sini.

Abu Hurairah berkata: saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Jika ada perempuan yang memiliki harta sebesar Kerajaan Sulaiman bin Dawud as, harta itu lalu dimakan suaminya, jika sang perempuan bertanya kepada suaminya: mana hartaku?, maka ia akan dihapuskan seluruh amal baik yang telah dikerjakannya selama 40 tahun.”

Saya sebagai perempuan, memang menjadi deg-degan membaca teks hadits seperti ini. Dalam pikiran saya: jangan-jangan teks hadits seperti ini yang membuat kebanyakan kita menjadi penurut, atau mungkin penakut, di hadapan suami kita, karena takut dosa, bukan karena kasih sayang sepenuhnya. Entahlah… Padahal masih banyak lagi teks-teks hadits, di dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn, yang mengancam perempuan dengan api neraka atau laknat Allah (juga malaikat dan seluruh makhluk jagat raya), hanya karena lengah sedikit saja melayani dan taat pada suami.

Hadits lain mengatakan, Dari Abdullah bin Mas’ud ra. Rasulullah bersabda:”siapa saja wanita yang diajak suaminya ke tempat tidur, lalu ia menunda-nunda hingga suaminya tertidur, maka ia dilaknat Allah.”

Lagi-lagi konsekwensi dosa mengancam seorang isteri atas kelalaian kewajibannya terhadap  suami. Lalu bagaimana hukumnya bagi suami yang menunda-nunda memberikan hak nafkah bathin isteri tersebut. Apakah ia akan mendapat laknat juga? Padahal seringkali seorang isteri mengalah/meredam mendapatkan hak tersebut, apabila ia melihat sang suami tertidur karena kelelahan, walaupun ia sangat menginginkannya. Bagaimana kalau penundaan tersebut karena sang isteri harus memberikan perawatan untuk sang anak? Siapa yang harus didahulukan? Hal demikian hanya dijelaskan timpang sebagai kesalahan isteri semata.

Husnuzzhon Saja
Dalam kajian FK3, teks-teks hadits dalam ‘Uqud al-Lujjayn kebanyakan tidak sahih. Bahkan banyak juga yang palsu atau dhoif. Sekalipun demikian, tidak mudah kalangan pesantren, termasuk saya, menolak begitu saja kitab ini. Pertama karena ditulis ulama besar dan telah diwariskan turun temurun. Kedua karena gantinya juga belum ada. Kemudian,  tidak semua yang tertulis dalam kitab ini merugikan perempuan, ada banyak penjelasan-penjelasan Imam Nawawi yang akan mengantar para wanita menuju pada kemuliaan sebagai isteri.

Mungkin lebih baik kita berdamai dengan kitab ini. Atau dalam bahasa pesantren husnuzzhon. Artinya kita mencari maksud baik penulis melalui kitab ini. Kemungkinan besar maksud baik penulis adalah agar ikatan suami istri itu lestari dan langgeng. Ikatan juga harus didasarkan pada mawaddah wa rahmah. Cinta dan kasih sayang secara timbal balik. Dari istri ke suami dan suami ke istri.

Untuk menjawab semua keresahan tersebut, dari FK3, lahirlah buku “Wajah Baru Relasi Suami Isteri Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn”, yang mengkaji ulang secara ilmiah dan mendalam , khususnya pada pentakhrijan (telaah atas riwayat) hadits-hadits yang terdapat dalam kitab ini. Selain itu, dilakukan juga ta’liq, yakni komentar atas beberapa pandangan dan catatan-catatan yang berkaiatan dengan nama, tempat atau kata kunci tertentu yang sering menimbulkan pemahaman yang keliru dan tidak akurat.

Dengan telaah ini, diharapkan memberikan pemahaman yang bijak dan kritis terhadap isi dari kitab ‘Uqud al-Lujjyan’ tersebut, yang memunculkan pemahaman yang baru pada masyarakat tentang sebuah hubungan  suami isteri sebagai relasi yang adil gender.   Masyarakat kita bisa membaca seluruh isi kitab ‘Uqud al-Lujjyan’ dengan tuntutan yang sama terhadap kedua pihak. Tidak hanya istri terhadap suami. Tetapi juga suami terhadap istri. Dalam bahasa al-Qur’an: mu’asyarah bil-ma’ruf. Saling berbuat baik: antara suami dan istri.

Jika ada hadits yang melaknat istri karena berbuat buruk pada suami, maka kita juga harus berpikir dan memaknai bahwa suamipun akan dilaknat kalau berbuat buruk pada istri. Begitupun jika ada teks bahwa istri yang senyum kepada suami akan memperoleh pahala, maka pahala yang sama akan diperoleh suami, jika ia senyum pada istri. Begitupun untuk semua tuntutan dan ancaman, atau tawaran dan pahala.

Ikatan yang timbal balik seperti ini tentu saja lebih indah dan menjadi harapan setiap pasangan. Tetapi tidak mudah mewujudkannya. Perlu komitmen dari kedua belah pihak untuk saling memahami dan saling memulai berpikir dan berbuat baik terhadap pasangan. Tidak mudah. Tetapi sangat mungkin dan bisa terjadi. Sebagaimana juga tidak mudah berdamai dengan kitab ‘Uqud al-Lujjayn. Tetapi ini juga mungkin dan bisa terjadi. Semoga.