Rabu, 01 Desember 2010

Perpustakaan Sebagai Sarana Belajar Masyarakat

BELAJAR KESPRO DARI BUKU DI PERPUSTAKAAN
Seperti yang dikatakan Nyai Masriyah, pimpinan Pondok Pesantren Jambu Ciwaringin bahwa mengetahui kesehatan reproduksi sangatlah penting, terutama bagi para wanita yang sudah menginjak dewasa.Perempuan harus bisa merawat alat reproduksinya sejak dini  supaya terhindar penyakit yang membahayakan seperti kanker rahim dan sejenisnya. Semuanya tergantung kita, bagaimana menjaga dan memelihara alat reproduki kita. Hal ini berlaku bagi semua perempuan, termasuk para santri di pondok pesantren.
Untuk belajar kesehatan reproduksi tidak harus dengan sekolah atau pendidikan formal, baik di lembaga pendidikan umum atau di pesantren. Khususnya di pesantren, sebenarnya isu-isu kesehatan reproduksi dapat kita pelajari dengan membaca buku-buku terkait kesehatan reproduksi. Selanjutnya buku-buku tersebut juga tidak harus membeli, para santri bisa mempergunakan jasa perpustakaan pesantren untuk memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi tersebut. Untuk itu keberadaan perpustakaan sangat mutlak di butuhkan keberadaannya di pesantren, agar para santri berwawasan dan berpengetahuan luas. Tidak hanya mengenal keilmuan islam semata, para santri harus bisa menjadi intelektulisme yang berpengetahuan luas baik keilmuan umum maupun agama.
Tapi, sayangnya, kebanyakan koleksi bahan pustaka perpustakaan pesantren hanya berkaitan dengan subyek-subyek keagamaan dan kitab-kitab klasik. Sangat jarang sekali perpustakaan pesantren menyediakan koleksi pengetahuan umum, misalnya tentang ekonomi, motivasi dan pengembangan diri, apalagi koleksi tentang kesehatan reproduksi. Walaupun hal ini tidak terjadi di semua pesantren, tapi fenomena demikian banyak terjadi di pesantren salaf atau pesantren tradisional. Mengapa demikian?
Sebuah perpustakaan akan menyediakan koleksinya sesuai dengan tujuan dari perpustakaan dan lembaga yang menaunginya. Sebagaimana perpustakaan pondok pesantren salaf, sesuai dengan namanya pesantren, dimana lembaga tersebut akan mengajarkan para santri untuk menggali dan belajar agama,maka perpustakaan sebagai penunjang sarana pendidikan tersebut sudah pasti akan menyediakan koleksi perpustakaannya dengan buku-buku keagamaan dan kitab-kitab klasik. Kalau memungkinkan ada koleksi pengetahuan umum, pastinya yang berhubungan dengan kurikulum sekolah yang ada di pesantren tersebut. Mengapa koleksi terkait kesehatan reproduksi tidak ada? Padahal koleksi bahan pustaka tersebut sangat bermanfaat bagi santriwati.
Kemungkinan besar, pesantren beranggapan bahwa koleksi isu-isu kesehatan reproduksi merupakan koleksi perpustakaan untuk pendidikan sekolah kesehatan, seperti AKPER, KEDOKTERAN, STIKES dan lembaga pendidikan sejenisnya. Lingkungan pesantren dan para santri masih menganggap bahwa hal-hal terkait kesehatan reproduksi seperti masalah haid/mensturasi, keputihan, masalah kehamilan dan lain-lain adalah suatu tradisi lumrah terjadi bagi para wanita. Pengetahuan para santri masih di dominasi dengan mitos dan pemahaman yang  timpang, hanya pengetahuan tradisional. Misalnya melihat dan mengecek kebersihan alat reproduksi adalah suatu hal tabu dan tidak di benarkan islam. Hal ini disebabkan informasi tentang hal tersebut sangat terbatas.
Melihat fenomena demikian, maka sudah saatnya perpustakaan pesantren salaf untuk mengembangkan koleksinya lebih luas lagi pada koleksi pengetahuan umum, koleksi majalah, jurnal dan lainnya sampai dengan koleksi kesehatan reproduksi. Karena, hal ini  sangat bermanfaat bagi para santri dalam mengembangkan cara berfikir kreatif dan kritis. Para santri akan sangat beruntung apabila mempunyai seorang pemimpin yang sangat mengerti akan pentingnya suatu koleksi kesehatan reproduksi, karena suatu pengembangan koleksi akan sangat bergantung pada pemegang kebijakan atau pemimpin dari lembaga tersebut.
Perpustakaan sangat berperan dalam upaya pengembangan diri (self development) menuju pemikiran yang lebih matang dan menumbuhkan sikap obyektif para santri dalam melihat suatu masalah yang muncul di lingkungannya. Para santri akan tumbuh menjadi masyarakat yang informatif dan tanggap terhadap berbagai kemajuan pengetahuan yang ada di lapangan, dan dapat memelihara kemerdekaan berfikir yang konstruktif untuk menjadi keluarga besar pesantren dan masyarakat yang lebih baik. Selanjutnya,  yang tidak kalah penting bahwa tugas perpustakaan adalah dapat menumbuhkan budaya  baca dilingkungan santri,  dari yang tidak kenal buku menjadi mencintai buku, dari yang cuma mengenal kitab-kitab klasik menjadi terbiasa dengan bacaan-bacaan pengetahuan umum dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
 Dalam pengelolaan suatu perpustakaan harus ditangani oleh orang-orang yang profesional dibidangnya (Pustakawan). Sehingga perpustakaan akan mempunyai nilai dan daya guna yang tinggi baik dalam hal koleksi dan admimistrasi. Dan koleksi bahan pustaka yang ada sebaiknya dibuat klasifikasi dan katalogisasi, sehingga akan memudahkan proses temu kembali informasi (TKI) bagi para penggunanya. Selanjutnya, proses penyajian bahan pustaka, pelayanan dan perawatannya juga harus di perhatikan, supaya kebutuhan informasi santri dapat terpenuhi dan pengguna mendapatkan kenyamanan dan kemudahan dalam akses informasi di perpustakaan. Kalaupun tidak ada pustakawan, setidaknya pengelolah perpustakaan tersebut pernah mendapatkan pelatihan atau kursus mengenai kepustakawanan, sehingga beliau akan mengerti cara-cara operasional perpustakaan.
Selanjutnya, untuk pemilihan dan pengembangan koleksi perpustakaan juga harus menjadi perhatian penting, karena suatu paradigma baru mengatakan suatu perpustakaan yang berkualitas adalah dilihat dari kualitas koleksinya. Koleksi tidak penting banyak, asalkan berkualitas dan betul-betul memenuhi sesuai dengan kebutuhan pemustaka. Hal demikian berlaku pada perpustakaan pesantren-pesantren salaf, sehingga kebutuhan informasi para santri bisa terpenuhi. Pesantren salaf juga dapat bersaing dengan pesantren-pesantren modern dalam hal pengetahuan dan wawasan para santri.